Selasa, 20 Januari 2015

Memeluk Rindu di Danau Tanralili



 (bagian ketiga)
                Alam yang indah dan mempesona ini membuatku rindu. Ingin rasanya kuambil pena dan menulis puisi-puisi tentangnya. Di antara langkah langkah yang mulai terasa berat, ada keindahan yang sulit dilukiskan dengan kata-kata.

Iya, memang waktu berjalan lambat ketika kaki berjalan menuju Danau Tanralili. Semenit berlalu seperti bermenit menit. Danau yang dituju tak juga kunjung terlihat, membuatku harus mengumpulkan jiwa lagi untuk terus berjalan. Rasa haus bercampur letih.

                Kuteguk air, membasahi kerongkonganku yang mengering.

                Segar

Kaki yang lelah, namun kami harus terus melangkah. Carrier semakin lama semakin terasa berat, bumi menarik-nariknya dengan gravitasinya, membuat bahuku meringis. Kuperbaiki posisi carrierku, aku mulai berjalan lagi.

Walaupun demikian, tetap ada nikmat ….

Lihatlah kawan langit biru yang tersenyum. Hangat mentari tak bosan menyelimuti kulit. Rerumputan tertawa di antara jejak-jejak kami, dan aliran sungai bersenandung menyambut para petualang. Petualang tak boleh mengkhianati takdirnya, jejak mereka terekam melalui perjalanan, bukan bermalas-malasan. Panggullah ranselmu, dan teruslah berjalan kawan….

Kami beberapa kali beristirahat dan mengambil foto. Pemandangan alam yang indah dan menyejukkan, menggoda kami untuk mencahayakannya dalam sebuah kamera. Roy dan Isnan tertinggal di belakang, nampaknya mereka asyik dalam cerita di foto-foto mereka. Aku,Wicu, Nuzul dan Anwar berjalan hampir beriringan. Rudy entah ke mana. Mungkin dia asyik dengan cerita perjalanannya sendiri.

“Tinggal berapa lama lagi Asri?” Tanyaku kepadanya

“Masih harus melewati dua gunung lagi.” Jawabnya.

Kukumpulkan semangat. Danau itu menunggu kita. Di antara bebatuan,kerikil dan rerumputan kita berjalan. Bersama sahabat kita harus terus melangkah.

Langkah-langkah kami semakin jauh dan jauh. Di suatu bukit kecil, aku melihat seorang gadis asyik berfoto. Dia meminta kekasihnya untuk mencahayainya dari berbagai posisi. Dengan berbagai gaya dan pose. Dia duduk di ujung bukit yang terkena longsoran.

Sang kekasih terlihat ikhlas mengambil posenya dari berbagai sudut. Hemmh, sejak dulu begitulah cinta. Deritanya tiada pernah berakhir.

Tak lama kemudian, ketika kami asyik berisitirahat, Rudy lewat.

“Rud, kamu duluan saja, ambil tempat buat tenda kita.” Pinta Asri.

Rudi pun melangkah lagi.

***

                Langkah kami kembali terasa berat. Kali ini kami harus mendaki menuju puncak sebuah bukit yang nampak seperti gunung bagiku.

                “Aaaarg.” Teriak Anwar.

                Anwar terpekik-pekik. Dia mengenggam tahi sapi, ketika berpegangan pada sesuatu. Sebuah kenangan yang mungkin akan sulit dilupakan olehnya.

                Kamu tahu, kadang ada kenangan ketika naik gunung yang sulit dilupakan. Mungkin itulah salah satunya. Rasanya, aromanya, dan perasaan syahdu ketika menggenggamnya.

                Langkah kami semakin gontai, semakin lelah. Di mana Danau itu? Pertanyaan yang hadir dalam jiwaku.

                Namun kaki terus melangkah. Asri melihat aku dan Anwar dari jarak sekitar seratus meter di depan. Kami harus menyusuri longsoran demi longsoran. Perjuangan untuk segera sampai.

                Danau itu mulai terlihat.

                Semangatku mulai terkumpul lagi. Langkah-langkah menjadi lebih ringan.

                Dan danau itu mulai terlihat.

                Danau Tanralili ….



Senin, 19 Januari 2015

Memeluk Rindu di Danau Tanralili

(bagian kedua)




Perjalanan pun dimulai sekitar pukul 08.00 sabtu pagi. Kaki-kaki kami melangkah menyusuri jalan-jalan basah, ditemani kerinduan hati pada alam yang berbisik lembut kepada kami. Alam yang indah dan menawarkan senyum kepada kami di pagi itu.

Perjalanan diawali dengan menyusuri danau kecil. Setelahnya kami melewati jalan kecil yang di sampingnya dibangun batu-batuan yang bersusun. Cuaca cerah ditemani panas yang sedikit malu-malu menyengat kulit kami. Namun, pemandangan alam yang indah memanjakan mata kami. Pegunungan yang seringkali membuat kamu rindu untuk melangkah lagi.

Di jalan yang kami lewati, terlihat berjejeran air terjun yang indah menempel di bebukitan. Indah dan membuatku berpikir untuk menamakannya keajaiban alam ke -8. Atau mungkin pegunungan seribu air terjun. Saya yang memang sangat menyukai air terjun, memuaskan pandangan mata dengan air-air terjun yang kamu lalui di perjalanan kami.

Di belakang kami, tim pendaki yang kami temui di rumah Daeng Tawang ikut menyusul. Perjalanan mereka sedikit terhambat ketika seorang pendaki cewek mengeluh sakit perut karena penyakit maag. Kasihan, padahal perjalanan masih cukup jauh. Nuzul yang membawa obat, memberikannya kepada cewek tersebut.

Perjalanan kami lanjutkan. Namun, tapak-tapak kaki kami yang tadinya riang menyusuri jejalan, mendadak menjadi terasa lebih berat. Memandang ke atas, kami melihat jalan mendaki yang akan kami tempuh. Bekas longsoran yang mengingatkanku pada pendakian ke puncak Semeru, Mahameru. Beberapa kali kami melangkah, namun bebatuan itu bergeser oleh jejak langkah kami. Walaupun terasa lelah, namun bukan saatnya menyerah.

Kami harus berjalan terus, melangkah menuju impian kami.

Danau Tanralili menunggu kami di sana.

Di depan sana, Asri, lelaki berbadan imut namun dengan tekat yang sekuat baja, melangkah lebih jauh meninggalkanku dan beberapa kawan. Dia memang seperti mempunyai tenaga cadangan. Sementara beberapa sahabat masih asyik berfoto-foto ria, sehingga langkah mereka melambat. Upps, entah berapa lama, akhirnya bisa juga aku melewati jalan terjal ini.

Alam semakin banyak menawarkan keindahan alam di langkah-langkahku berikutnya. Indah, namun mengandung sebuah pesan. Beberapa area longsoran terlihat di beberapa jalan yang kami lewati. Kampung Lengkese memang pernah mengalami ujian longsor pada tahun 2004. Puluhan orang dinyatakan hilang pada waktu itu. Bencana itu menelan korban jiwa sebanyak 33 orang, menimbun 11 rumah warga, 1 Sekolah Dasar, dan satu masjid.

Bahkan, konon danau Tanralili yang akan kami datangi merupakan buah dari proses alam tersebut. Danau yang konon menyimpan endapan longsoran itu, menjadi saksi bisu peristiwa alam yang terjadi satu dasawarsa yang lalu.

Manusia memang harus selalu meminta perlindungan kepada Allah, Sang Maha Pencipta. Karena alam yang indah bisa menjadi sahabat, bisa pula memberikan pesan bila kita tak terus menjaga dan memohon pertolongan kepada-Nya.

Tiba-tiba aku merasa rindu, rindu pada alam yang telah lama tak aku jejaki.
(Bersambung)

Memeluk Rindu di Danau Tanralili

Catatan Perjalanan 16-18 Jan 2015




(bagian pertama)

Dingin pagi menjemput sedikit rasa malas dari tubuh untuk bergerak. Langit menunjukkan subuh mulai berjalan perlahan menuju pagi. Sedikit saja kita bisa kehilangan waktu berharga yang sebenarnya. Subuh mendekap rindu ke hadirat Sang Maha Pencipta.

Sabtu subuh di Desa Lengkese. Aku membuka pintu tenda, dan hatiku tersenyum. Telah lama aku mengistirahatkan kaki berjalan. Bersama sahabat sahabat kembali aku berjalan. Syukurlah. Hidup terasa menyenangkan bersama sahabat yang menawarkan senyum untuk kita.

Padahal kemarin siang beberapa dari kami belum terlalu yakin untuk melakukan perjalanan karena pengaruh cuaca. Danau Tanralili yang kami tuju, melewati daerah longsoran yang cukup rawan. Anwar sedikit realistis, sedangkan Roy, bertekad baja. Dia bertekad untuk ke Danau Tanralili.walaupun apapun halangannya.

"Kalau sampai hujan tidak berhenti mengguyur kota Makassar, maka mungkin saya tak ikut." Begitu kira kira pesan Anwar pada siang sebelum rencana keberangkatan kami ke Desa Lengkese untuk selanjutkan melanjutkan perjalan ke Danau Tanralili.

Alhamdulillah, malam keberangkatan langit kembali bersahabat dengan kami.

Pada akhirnya jumlah kami tetap rencana semula, delapan orang. Saya, Asri, Wicu, Roy, Rudi, Isnan, Anwar Nopiar dan Nuzul. Alhamdulillah lagi, Nuzul dengan kebaikannya menyediakan mobil untuk keberangkatan kami.

Kami memulai perjalanan dari tempat Roy bekerja, di jalan Jenderal Sudirman sekitar pukul 8.30 malam. Melewati jalan Sultan Alauddin, tiba tiba perut Roy terasa lapar.

"Kita singgahlah nanti makan dulu pas jemput Asri." Kata Roy.

Kampung tengah memang harus dimakmurkan sebelum ke sana. Beberapa teman singgah makan di warung tenda di jalan Alauddin depan kompleks Asri.

Setelah puas memakmurkan kampung tengah, perjalanan kami lanjutkan. Melewati jalan poros Makassar Malino kami, kami belok kanan di kecamatan Parigi. Melewati gelap malam di Majannang, terdapat sebuah patung di pertigaan. Arah kanan ke arah Malakaji, arah kiri lurus ke atas menuju desa Lengkese tujuan kami.

Kami tiba di Gedung Pengamatan Bawakaraeng sekitar pukul 12.30 malam. Karena tak ada tempat untuk menginap kami pun mendirikan tenda.

***
"Kita berjalan yuk mencari minuman hangat. Mungkin saja ada yang jualan." Ajak Nuzul pagi seusai mentari perlahan menggeliat malu bangkit dari peraduannya.

"Ayo." Aku dan Wicu mengiyakan.

Kami berjalan menapaki jalan Desa Lengkese. Beberapa "ranjau" yang masih hangat menggoda kami untuk berjalan dengan hati hati. Menginjak "ranjau" berarti harus mencuci kaki. Walaupun air berlimpah, namun jejak rasa ranjaunya akan terkenang walaupun tapak kami telah bersih.

"Singgahki." Seorang bapak menyapa kami dengan ramah. Rumahnya terletak paling ujung dari setapak yang kami lewati.

"Iyek." Jawab kami sopan

Bapak ramah itu terus mengajak kami untuk naik ke rumahnya. Tapi entah mengapa kami menolaknya. Mungkin rasa risih karena di kota kita sudah sedikit jarang mendapatkan keramahan seperti ini.

"Kapanki datang?" Tanya bapak itu.

"Sekitar jam dua belas kemarin pak."

"Kenapa ndak bermalamki di sini?" Tanya bapak itu ramah.

"Ndak enak mengganggu pak. Kami menginap di gedung pemantauan longsor."

"Ndak papa. Di sini biar jam dua kalian mengetuk tidak papa." Jawab istrinya yang juga tak kalah ramah.

Keramahan bapak dan ibu itu nampaknya tak dibuat buat. Khas penduduk desa yang masih senang menawarkan keramahan kepada siapa saja. Sebuah tawaran yang menarik, mungkin kelak bila berkunjung lagi ke sini, kami akan singgah ke rumahnya.

Kami pamit setelah berbasa basi menanyakan spanduk kecil bertuliskan "Basecamp Persia" depan pintunya. Tulisan itu mengingatkan kami pada seorang sahabat yang kami kenal. Dia pernah menapakkan kakinya di tempat ini.

Kami pun kembali ke tempat kami menginap semalam Gedung Pengamatan Bawakaraeng- Pompengan Jeneberang. Syukurlah, semua teman telah bangun. Kami melakukan aktivitas pagi sebelum berangkat. Memenuhi panggilan alam misalnya. Hal yang cukup penting tentunya. Dan juga mengisi kampung tengah dengan minuman hangat dan snack.

Sebelum berangkat kami memutuskan untuk silaturrahim ke rumah Daeng Tawang, Imam Desa. Etikanya kita harus bersilaturrahim dengan tetua kampung.

Aku, Nopi, Roy berjalan menuju rumah Daeng Tawang. Karena bingung kami bertanya ke penduduk yang kami temui. Katanya rumahnya terletak di sebelah mesjid. Berjalan menurun melewati jalan beton, kami melihat sebuah mesjid. Tidak lama kemudian kami melihat rumah Daeng Tawang.

Kami menjelaskan maksud kedatangan kami kepadanya. Beliau menyambut kami dengan ramah. Bahkan beliau menawarkan songkolo, penganan khas lokal. Tapi kami telah sarapan pagi hingga kami menolaknya.

Di tempat Daeng Tawang kami bertemu dengan tim pendaki lain yang hendak ke Danau Tanralili juga. Jumlahnya lebih dari sepuluh orang. Nampaknya bukan hanya kami yang berniat ke Danau Tanralili.

"Catat dulu nama-namata." Kata Daeng Tawang.

Kami mengutus Anwar untuk masuk karena hanya dia yang memakai sandal hingga mudah dilepas.

Setelah mencatat nama nama kami di buku tamu, kami pamit kepada beliau.

Sesampainya di Gedung Pemantauan, teman teman telah bersiap untuk berangkat. Isnan, pemuda tangguh memanggul carrier berisi ransum kami. Sayangnya dia lupa membawa mantel hujan. Sedikit khawatir bila hujan tiba.

“Pokoknya kamu penting dilindungi Isnan. Karena kamu yang bawa ransum.” Kata Asri.

Sebelum Berangkat kami berfoto dulu. Setelahnya kami berkumpul memasrahkan diri ke Sang Maha Pencipta dalam lantunan doa. Berharap Allah melindungi kami dalam perjalanan.

Kaki pun mulai melangkah. Kami sempat melihat air terjun kembar di bukit yang berhadapan dengan tempat kami menginap. Sayangnya waktu terbatas hingga kami tak bisa ke sana. Memandang langit, semoga tak turun hujan. Perjalanan ke Danau Tanralili adalah perjalanan melewati daerah longsoran yang cukup terjal. Bila hujan turun maka kami harus berhati-hati.

(Bersambung)

Trip tanggal 271214 : Lukisan Batu Bendungan Kampili




Trip tanggal 271214 : Lukisan Batu Bendungan Kampili

Setelah tersesat menuju bendungan Bissua, aku merasa sudah kepalang basah. Ibaratnya sekali memacu motor dua bendungan terlampaui. Sekalian saja ke bendungan Kampili.

Ina dan Suci ternyata tak sendirian. Entah kebetulan atau terencana, Ina bertemu dengan adek adek angkatannya di kampusnya. Mereka asyik berfoto selfie ria dengan tongkat saktinya.

Lagi-lagi, saya dan Hendri terpisah lagi. Mereka meninggalkan kami entah ke mana. Untunglah ada pepatah malu bertanya sesat di jalan. Setelah bertanya tanya pada rumput yang bergoyang, akhirnya kami sampai juga. Petunjuknya adalah kami harus berbelok ke kanan setelah melihat sebuah sekolah.

Bendungan Kampili!

Tapi di mana mereka? Kok belum kelihatan?

Aku dan Hendri memarkir motor. Kami lalu naik menuju lintasan yang berisi pembangkit tenaga listrik. Hati hati tegangan tinggi. Tulisannya.

Bahaya juga kalau menyentuh pembangkit tenaga listrik itu. Bisa bisa rambut berdiri dan badan menghitam seperti di film dono, kasino, indro.

Bendungan ini merupakan bagian dari proyek irigasi bili bili. Hasil kerjasama antara Jepang dan Indonesia. Bendungan kampili cukup menarik. Ini adalah lukisan batu di alam yang indah.

Agak lama menunggu Herman, Ina,.Suci dan adek adek angkatan Ina muncul. Ternyata mereka menyusuri jalan yang berbeda, karena jalan yang kami susuri cukup kecil untuk mobil.

Dan inilah foto bendungan kampili. Bagaimana? cukup indah bukan?






Tersesat ke Bendungan Bissua



 Siang itu, Minggu, 28 Desember 2014, ibu baru saja pulang dari membagi rapor di sekolahnya. Ibu seorang guru sekolah dasar dekat rumah, sekolahnya berjarak sekitar dua ratus meter dari rumah. Ibu membawa kresek hitam berisi "sesuatu".

Rupanya sekolah ibu habis 'makan-makan' sebagai acara rutin yang menyelip pas pembagian rapor. Ibu mendapat hadiah ember kecil berisi beberapa ayam KFC.
Tak disangka tak diduga, ketika jalan pagi melewati KFC dekat rumah kemarin, saya merencanakan makan ayam resep bule ini. Rezeki memang tak ke mana, akhirnya bisa juga makan gratis.

Aku melirik jam dinding. Masih sempat gak ya ikut trip ke bendungan Bissua? Seorang teman mengajak ke sana. Sambil makan aku berpikir ikut atau tidak. Sudah enam bulan sepertinya aku jarang 'piknik'. Alasannya karena satu dan lain hal yang sulit dijabarkan dengan kata-kata. Ciye ciye. Lebay mode : on

Akhirnya aku memutuskan ikut. Penasaran dengan bendungan Bissua. Kalau menurut internet, tempat tersebut adalah salah satu tempat wisata di Takalar. Menurut cerita di sebuah blog, jarak tempuhnya hanya sekitar 40 menit dari makassar. Kupikir jaraknya tidak begitu jauh. 15 menit lagi jam setengah dua, jadwal keberangkatan.

Brumm. Aku memacu motorku ke sebuah hotel. Di depan hotel hotel teman teman trip sudah berkumpul. Kami ada berempat. Ada hendri, ina dan (kalau tak salah namanya) suci. Ina dan suci berboncengan, aku dan hendri bawa motor sendiri sendiri.

Karena masih bingung lokasinya di mana, maka aku memacu motorku paling belakang. Kami beriringan memacu motor melewati jalan Alauddin, terus berputar ke UIN Samata, menuju ke arah jalan Malino

Senang rasanya melewati sawah sawah lagi. Pemandangan hijau seolah olah berbisik kepadaku untuk bersahabat dengannya. Sepertinya aku terlalu lama mengurung diri dalam rutinitas dan masalah yang tak kunjung berhenti.

Asyik memacu motor, aku merasa ada yang janggal. Ina dan temannya tak kelihatan. Hendri terus memacu motornya, aku mengira dia tahu jalan menuju bendungan itu.

Aku memintanya berhenti. Ketika berhenti, aku bertanya.

"Kamu tahu jalan menuju bendungan itu?" Tanyaku.

"Tidak." Ternyata kami sama sama tak tahu.

Kami putuskan menunggu Ina dan temannya. Ternyata setengah jam menunggu Ina dan temannya tak muncul muncul juga.

Kami berdua mulai khawatir. Kami berdua juga tak punya nomor teleponnya. Semakin lama menunggu kami semakin khawatir. Satu satunya jalan menghubunginya melalui line.

"Kamu di mana?" Tanyaku melalui line.

Lama tak ada balasan. Hendri memutuskan menyusuri arah kedatangan kami. Dia menyuruhku tetap tinggal. Lebih setengah jam kemudian dia muncul, Ina belum muncul juga.

Aku membuka line, barangkali ada pesan dari dia. Syukurlah, mereka ternyata menempuh jalan yang berbeda dengan kami. Mereka tersesat kami pun tersesat.

Kami berdua menyusuri jalan poros gowa- malino, bertanya ke sana ke mari. Ada dua pilihan, jalan bagus tapi jauh, jalan pintas namun jelek dan berbecek.

Karena ingin cepat sampai, akhirnya kami memilih jalan pintas yang berbecek. Ketika perjalanan baru memasuki beberapa ratus meter, aku merasa bahwa jalur ini sedikit menggalaukan. Selain jalannya becek, jaraknya tak 'sepintas' yang kubayangkan.

Deru motor yamaha vegaku seolah tak mampu melewati jalan becek yang ada di hadapanku. Berkali kali hampir terjatuh, namun aku berusaha menjaga keseimbangan. Ada perasaan khawatir, memandang ke langit dengan awan yang terlihat pekat.

Aku berpikir untuk menghentikan perjalanan. Bagaimana bila hujan deras tiba dan kami terjebak di sini? Bisakah kami pulang

Aku mengklakson Hendri. Dia berhenti.

"Apa sebaiknya kita tak bertanya dulu? Apa benar ada jalan lainnya yang bagus? Kalau kita harus pulang melewati jalan ini, kemungkinan kita harus menginap." Syndrom logis (baca : cemasku) memuncak. Sejenak ada setitik sesal mengapa aku melanjutkan perjalanan melalui tempat ini.

"Assalamu alaykum." kami memberi salam. Kami bertanya kepada penghuni rumah satu satunya di jalan ini.

Seorang wanita berumur kira kira 35-40 tahun bangun dari tiduran di teras rumah panggung. Rumah panggung merupakan rumah adat bugis makassar, ciri khasnya ada teras ruang bertamu ketika kita menaiki tangga.

"Bu, apa benar jalan ini menuju bendungan Bissua?" Tanyaku.

Ibu itu mengiyakan. Dengan cepat aku bertanya tentang jalan bagus yang diceritakan penduduk di jalan poros Malino.

"Ada jalan bagus bu untuk pulang selain jalan ini?"

Ibu itu kembali mengiyakan. Upps, aku merasa sangat senang. Sepertinya kami bisa melanjutkan perjalanan ini.

Melewati jalan becek tak terlalu menggalaukan aku lagi. Yang penting ada jalan yang bagus.

Sekitar lima belas menit kami memacu motor, syukurlah kami sampai juga. Di depan bendungan kami melihat Ina dan temannya telah lebih dulu sampai. Kami sampai sekitar jam empat.

Aku melirik motornya. Kemudian menatap motorku yang mandi lumpur. Ternyata perjuangan mereka untuk sampai ke bendungan ini tak seberat kami.

Bendungan Bissua cukup menarik bagiku yang jarang melihat bendungan. Sayangnya airnya berwarna kecokelatan. Mungkin karena musim hujan. Asyik menikmati bendungan, Ina berkata sesuatu.

"Oia, Herman mau ke sini, katanya dia tahu jalan menuju bendungan kampili."
Bendungan kampili? Apakah perjalanannya akan seberat perjalananku tadi? Apakah aku akan melanjutkan perjalanan ke sana?

Kamis, 02 Oktober 2014

#2 Judul : Maestro Terlahir Dari Sebuah Rahasia



 Seorang ilmuwan bernama Helmhotz menceritakan bagaimana proses manusia bisa menjadi kreatif atau cerdas. Proses tersebut terjadi melalui tiga tahapan. Tiga tahapan tersebut adalah saturasi, inkubasi, dan organizing.

 Saturasi adalah proses penginputan data ke dalam otak. Semakin intens seseorang memasukkan data maka otak akan semakin kaya dengan informasi. Dalam proses ini memilih informasi ke dalam otak sangat perlu bila anda ingin cerdas dalam suatu bidang. Misalnya saja, Anda ingin cerdas dalam bidang fisika, maka akan menjadi kontraproduktif bila buku-buku yang anda baca adalah bidang biologi.

 Dalam proses ini diperlukan fokus dan kemauan yang gigih. Proses menginput informasi bisa dilakukan dengan berbagai cara yang berbeda untuk setiap orang. Setiap individual mempunyai konsep belajar efektif yang berbeda-beda. Memahami konsep belajar yang efektif adalah sebuah keharusan.

 Proses ke dua adalah inkubasi atau pengendapan. Konon, informasi yang masuk ke dalam otak tidak benar-benar hilang walaupun kita menganggap telah melupakannya. Mereka ada di alam otak kita dan memperkaya pengetahuan yang kita miliki.

 Dalam proses inkubasi ini, informasi yang masuk melalui proses saturasi sangatlah penting. Memilah-milah informasi yang masuk ke dalam otak menjadi urgent bila dikaitkan dengan pilihan kecerdasan. Semakin banyak informasi yang masuk akan menjadi berguna bila mempunyai kolerasi dengan kecerdasan yang kita harapkan.

 Pengendapan terkadang memerlukan waktu yang sulit diprediksi. Sebagai contoh seseorang yang tiba-tiba mampu menjawab soal yang sulit atau secara tak terduga menjadi kreatif. Hasil dari pengendapan informasi di otak bisa jadi menjadi penyebab hal tersebut.

 Proses terakhir adalah organizing. Organizing adalah proses di mana otak mengolah data menjadi output. Bila inputnya benar, insya Allah outputnya juga benar. Bila seseorang secara intens menggali pengalaman dan mengumpulkan informasi dalam bidang yang dia inginkan, maka dia akan menuju jalan yang tepat menuju impiannya sebagaimana yang diatur oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.

 Sepuluh Ribu Jam Latihan

 Malcom Galdwell pernah melakukan semacam riset bagaimana orang yang sukses menggapai impiannya. Dia akhirnya mengambil kesimpulan, bahwa seseorang yang secara tekun melalukan 10 ribu jam latihan dalam bidang yang dia inginkan, akan lebih terbuka jalannya menggapai kesuksesannya. Kesuksesan itu tidak berlaku instan, dan walaupun ada orang-orang yang menggapai kesuksesan dengan instan, seringkali kesuksesan itu mudah berakhir.

 Beberapa atlet, penulis, pebisnis, dan bidang lainnya memakai metode tersebut baik disadari maupun tidak disadari.

 Billy Joy–pengembang Java dan pendiri Sun Micro System dan Bill Gates adalah contoh orang-orang yang telah menghabiskan beribu-ribu jam waktunya sebelum mencapai hal yang fantastis. Mereka terus belajar dan bekerja keras untuk menggapai impiannya.

 Contoh lainnya adalah olahragawan terkenal, Ronaldo. Dia menambah jam latihan di luar yang ditetapkan pelatih untuk meningkatkan dan mempertahankan prestasinya. Beberapa atlet yang meraih piala di kompetisi tingkat dunia bercerita mereka telah berlatih sejak usia belasan, bahkan tahunan. Beberapa dari mereka sukses menggapai impiannya setelah hampir sepuluh tahun berlatih, bahkan ada yang lebih cepat dari itu.

 Sepuluh ribu jam latihan artinya jangan menyerah sebelum mencapai titik tersebut. Insya Allah kesuksesan yang kita idamkan akan tergapai bila kita tidak mudah menyerah dalam berikhtiar dibarengi optimisme dan doa tiada henti.

Allahu a'lam

#1 Judul : Laci Pikiran



Konon manusia memikirkan 50 ribu sampai 60 ribu hal setiap harinya. Otak bisa jadi mirip seperti gerak transportasi di kota Jakarta, bisa macet dan melambat namun sesungguhnya tak pernah berhenti.

Setiap manusia tenggelam dalam alam pikirannya sendiri, bahkan pada saat kita mengatakan diri kita tidak sedang berpikir, sebenarnya kita sesungguhnya memikirkan sesuatu. Pikiran itu memenuhi laci laci otak, memenuhinya, dan terkadang tanpa disangka mereka sudah menyesakkan laci otak kita

 Kasihannya, sebagian manusia mengalami kebingungan luar biasa mengelola pikirannya. Sebagian kita lebih sibuk mengelola fisik namun terkadang pikiran seringkali lebih penting daripada fisik. Akhirnya, laci pikiran yang tak terawat pun membusuk. Pikiran yang membusuk bagaikan kanker yang sulit diobati. Mereka bahkan lebih mirip bom waktu, ledakannya tak terduga dan kerusakannya tak terkira. Akhirnya ‘korban-korban’ pun berjatuhan.

Pikiran yang secara terus menerus mengalir dalam otak memerlukan penyaluran. Bisa dibayangkan sesuatu yang mengalir bila terhambat, mungkin mirip dengan got hitam busuk yang tak menemukan penyalurannya. Akumulasi itu melahirkan stress, kegilaan, kesehatan yang menurun serta tindakan tindakan yang tak terduga.

 Manajemen Pikiran

Suatu saat, seorang supir taksi mengemudikan kendaraannya di tengah jalan kota yang cukup padat. Sebagian penduduk kota tersebut telah terbiasa meluapkan kemarahannya secara frontal. Walaupun demikian, emosi mereka cepat mereda ketika 'lawannya' tak turut menanggapi secara frontal pula.

Di jalan yang begitu padat, insiden kecil seringkali sulit dihindari. Supir taksi tersebut ketika menjalankan kendaraanya hampir saja menyenggol mobil yang ada di hadapannya.

Pengendara mobil yang hampir bersenggolan marah besar. Dia menghentikan mobilnya, dan mengajak supir taksi bertengkar dengan mengeluarkan kata-kata kasar.

Namun, supir taksi tersebut malah tersenyum. Dia melambaikan tangan, tersenyum dan menyapa ramah. Dia kembali melajukan kendaraannya, terlihat tenang dan tak lagi memikirkan masalah tersebut.

 Penumpang taksi yang bukan penduduk asli kota tersebut merasa takjub dengan perilaku supir. Dia bertanya dengan sopan.

"Paman, mengapa engkau tak membalas perkataan orang tersebut tadi?" Tanyanya.

Supir taksi tersebut menjawab tenang.

"Terkadang setiap orang membawa 'sampah' yang dia bawa ke mana-mana dan menumpahkannya di tempat yang tak sepantasnya. 'Sampah' itu adalah masalah dalam pikiran, mungkin berasal dari rumah, dari tempat kerja atau dari mana saja. Bisa jadi orang tadi seperti itu. Saya tak mau menerima 'sampah' orang tersebut dan membawanya."

Begitulah, terkadang seseorang membawa 'sampah' pikiran dan menunggu saat menumpahkannya. Dia akan menumpahkan hanya karena terpicu masalah kecil.

Terkadang ketika seseorang marah kepada kita, sejatinya bukanlah semata-mata karena perbuatan kita. Dia hanya mencari 'trigger', sehingga pelatuknya bisa melemparkan peluru kemarahannya. Mirip dengan kisah seorang bos yang tak bisa marah di hadapan istrinya, akhirnya pelampiasannya kepada bawahannya yang berada di bawah kekuasaannya.

Untuk mengatur pikiran sejatinya kita harus mengatur informasi yang masuk ke dalam pikiran kita. Beragam informasi yang bersifat sampah tak bisa diharapkan menjadi barang yang berguna.

Pikiran, selayaknya laci, perlu untuk diatur. Masukkanlah barang yang berguna, dan keluarkan barang yang tak penting. Kita harus selalu menyediakan kunci karena tak semua informasi harus masuk ke dalam laci pikiran kita.

 Tetaplah tenang
Hidup terkadang tak menawarkan hal yang indah kepada kita selain ketegangan yang menumpuk-numpuk. Namun, apapun yang terjadi tetaplah bersikap tenang.

Seseorang yang kehilangan ketenangan, ibarat seseorang yang membiarkan tsunami informasi buruk yang meluluhlantakkan pikirannya.

Kembali merenungi makna hidup dan hakekat hamba, menjadi resep jitu menghadapi kerasnya hidup. Ingatlah, Tuhan selalu memberikan kita kemampuan mencari jalan keluar dalam setiap permasalahan. Tetaplah percaya!