Senin, 28 Mei 2012

Menjadi Orang Lain



Mungkin dalam hidup kita ini, kita pernah berharap menjadi orang lain. Beban kehidupan yang menghimpit tubuh kita terasa begitu berat, sehingga terkadang kita menengok ke sisi lain, ke sisi kehidupan orang lain. Terasa menyenangkan kehidupan mereka, tiada beban, tiada derita.

            Tapi mungkin itu hanya dalam pikiran kita saja!

            Alam pikiran merupakan suatu hal yang penuh misteri. Kita tidak dapat menerka bagaimana alam pikiran seseorang hanya dengan menengok fisiknya saja. Karena memang kebahagiaan itu ada dalam hati, bukan berada dalam fisik. Bagaimana mungkin kita dapat mengukur sesuatu yang tidak bisa diukur dengan ukuran fisik, yaitu kebahagiaan. Tiada ukuran yang pasti tentangnya.

            Jika ditanyakan kepada seseorang tentang dirinya, saya rasa setiap orang mempunyai keluhannya masing-masing. Karena hidup itu sendiri sudah merupakan ujian. Walaupun sekecil apapun, setiap orang pernah mengalami saat-saat terpuruk dalam hidupnya. Saat-saat yang membuatnya terjatuh dan terhempas. Dan saat-saat dia merasa kehilangan keseimbangan dia merasa kehidupan orang lain itu menyenangkan. Tapi mungkin dia tidak menyadari, di sisi lain, ada  orang yang sedang dia irikan juga  bermimpi menjadi dirinya. 

            Saya punya seorang guru bahasa Inggris. Seorang guide. Beliau orangnya selalu ceria. Dengan jenggot yang lebat dan pakaian jubah membawa kekhasan pada dirinya. Mungkin beliau adalah satu dari seribu guide yang berpenampilan unik seperti itu. Atau mungkin beliau adalah satu-satunya guide di Indonesia yang berpenampilan unik seperti itu.

Dia bercerita bahwa dia menolak pekerjaan untuk mengelola sebuah wisata travel dengan gaji lima sampai dengan enam jutaan, karena dia merasa nyaman dengan kemerdekaannya. Dia lebih senang hidup dengan kebebasan tanpa terikat oleh pekerjaan walau penghasilannya sendiri tidaklah menentu. Dia juga pernah bercerita bahwa idealismenya dalam bidang agama melarangnya menerima pekerjaan tersebut.         

            Mungkin orang berkata, wah, itu pilihan yang salah. Bagaimana mungkin Beliau menolak kesempatan sebagus itu dan memilih hidup dengan penghasilan tidak menentu? Tapi itu pilihan hidupnya. Pilihan hidupnya membawanya pada kebahagiaan. Mungkin beliau adalah orang yang berprinsip hidup kita adalah tugas kita sendiri untuk mengisinya.  Kita tidak bisa membiarkan standar kebahagiaan orang lain menjadi standar kita. Setiap orang itu unik, dan memiliki standar kebahagiaannya sendiri. Kita bisa meniru atau mengimitasi kehidupan orang lain, namun kita tidak bisa menjadi orang lain. 
            Saya mengibaratkan kehidupan kita itu seperti gelas yang berisi air. Walaupun gelas kita hanya setengah isinya, namun tetap itu adalah milik kita. Kita tidak bisa merebut gelas orang lain yang penuh, karena cemburu. Tapi tugas kita adalah mengisi air dalam gelas kita agar bisa sepenuh gelas orang lain, tanpa perlu merebut gelas orang lain tersebut.

            Mari sama-sama menikmat gelas berisi air yang kita miliki dengan keikhlasan dan kesyukuran kepada Allah. Niscaya Allah akan menambah air dalam gelas kita. Percayalah!