(bagian ketiga)
Alam yang indah dan mempesona ini
membuatku rindu. Ingin rasanya kuambil pena dan menulis puisi-puisi tentangnya.
Di antara langkah langkah yang mulai terasa berat, ada keindahan yang sulit
dilukiskan dengan kata-kata.
Iya, memang waktu berjalan lambat
ketika kaki berjalan menuju Danau Tanralili. Semenit berlalu seperti bermenit
menit. Danau yang dituju tak juga kunjung terlihat, membuatku harus
mengumpulkan jiwa lagi untuk terus berjalan. Rasa haus bercampur letih.
Kuteguk
air, membasahi kerongkonganku yang mengering.
Segar
Kaki yang lelah, namun kami harus
terus melangkah. Carrier semakin lama semakin terasa berat, bumi
menarik-nariknya dengan gravitasinya, membuat bahuku meringis. Kuperbaiki
posisi carrierku, aku mulai berjalan lagi.
Walaupun demikian, tetap ada nikmat
….
Lihatlah kawan
langit biru yang tersenyum. Hangat mentari tak bosan menyelimuti kulit. Rerumputan
tertawa di antara jejak-jejak kami, dan aliran sungai bersenandung menyambut
para petualang. Petualang tak boleh mengkhianati takdirnya, jejak mereka
terekam melalui perjalanan, bukan bermalas-malasan. Panggullah ranselmu, dan
teruslah berjalan kawan….
Kami beberapa
kali beristirahat dan mengambil foto. Pemandangan alam yang indah dan
menyejukkan, menggoda kami untuk mencahayakannya dalam sebuah kamera. Roy dan
Isnan tertinggal di belakang, nampaknya mereka asyik dalam cerita di foto-foto
mereka. Aku,Wicu, Nuzul dan Anwar berjalan hampir beriringan. Rudy entah ke
mana. Mungkin dia asyik dengan cerita perjalanannya sendiri.
“Tinggal berapa
lama lagi Asri?” Tanyaku kepadanya
“Masih harus
melewati dua gunung lagi.” Jawabnya.
Kukumpulkan semangat.
Danau itu menunggu kita. Di antara bebatuan,kerikil dan rerumputan kita
berjalan. Bersama sahabat kita harus terus melangkah.
Langkah-langkah
kami semakin jauh dan jauh. Di suatu bukit kecil, aku melihat seorang gadis
asyik berfoto. Dia meminta kekasihnya untuk mencahayainya dari berbagai posisi.
Dengan berbagai gaya dan pose. Dia duduk di ujung bukit yang terkena longsoran.
Sang kekasih
terlihat ikhlas mengambil posenya dari berbagai sudut. Hemmh, sejak dulu
begitulah cinta. Deritanya tiada pernah berakhir.
Tak lama
kemudian, ketika kami asyik berisitirahat, Rudy lewat.
“Rud, kamu
duluan saja, ambil tempat buat tenda kita.” Pinta Asri.
Rudi pun melangkah
lagi.
***
Langkah
kami kembali terasa berat. Kali ini kami harus mendaki menuju puncak sebuah
bukit yang nampak seperti gunung bagiku.
“Aaaarg.”
Teriak Anwar.
Anwar
terpekik-pekik. Dia mengenggam tahi sapi, ketika berpegangan pada sesuatu.
Sebuah kenangan yang mungkin akan sulit dilupakan olehnya.
Kamu
tahu, kadang ada kenangan ketika naik gunung yang sulit dilupakan. Mungkin
itulah salah satunya. Rasanya, aromanya, dan perasaan syahdu ketika
menggenggamnya.
Langkah
kami semakin gontai, semakin lelah. Di mana Danau itu? Pertanyaan yang hadir
dalam jiwaku.
Namun
kaki terus melangkah. Asri melihat aku dan Anwar dari jarak sekitar seratus
meter di depan. Kami harus menyusuri longsoran demi longsoran. Perjuangan untuk
segera sampai.
Danau
itu mulai terlihat.
Semangatku
mulai terkumpul lagi. Langkah-langkah menjadi lebih ringan.
Dan
danau itu mulai terlihat.
Danau
Tanralili ….