Selasa, 22 Oktober 2013

Karena Dunia Tak Selebar Daun Kelor





"Kapalnya sudah pergi. Kalian terlambat." Kalimat itu membuatku menggerutu dalam hati. Perjalanan dari Malang menuju Tanjung Perak seperti menjadi sia-sia. Apalagi kami sudah membeli tiket untuk pulang ke Makassar setelah melakukan pendakian selama seminggu di Semeru.

Seharusnya malam ini saya bersama ketiga sahabat, Tony, Tobo, dan Pardi sudah berada di atas kapal menuju ke kampung halaman. Mungkin sambil menikmati desir angin malam yang bermanja-manja menyelimuti tubuh kami. Tapi tidak, waktu tidak menunggu siapa-siapa. Telat sedetik ataupun sejam sama saja. Artinya kami harus menyusun rencana baru.

"Ada sih kapal. Tapi besok." Kata penjual tiket.

Kami saling berpandangan.

"Bagaimana kalau kita menginap di sini saja malam ini?" Kata Tony.

"Boleh." Kata Tobo mendukung Tony.

Memang sepertinya tidak ada pilihan lain. Menggembel di pelabuhan adalah pilihan yang paling pas buat kami saat ini. Tapi mungkin juga bukan pilihan yang pas. Kondisi pelabuhan yang penuh aliran manusia, membuatku membuka mata kewaspadaanku. Barang-barang disusun rapi terjangkau dari pandangan.

“Dulu waktu berkunjung ke sini, saya sempat bertemu dengan orang Makassar. Saya akan mencarinya bersama Tobo, siapa tahu dia masih di sini. Mungkin kita bisa menginap di tempatnya. Kalian di sini saja.” Tony menceritakan rencananya.

Aku dan Pardi mengiyakan saja. Ide tersebut terdengar masuk akal saat ini.

***

Angin malam mulai berhembus-hembus manja di tubuh kami. Beralaskan matras, aku merebahkan diri sambil menatap langit-langit. Malam seperti bercerita padaku saat ini.

Tony telah kembali. Dengan kabar orang yang dicari tiada ketemu. Jadi kami sepakat untuk tidur saja di depan loket penjual tiket. Tak mengapa, aku mulai menikmati momen ini. Menjalani kehidupan malam di pelabuhan perak. Menjadi gembel, tidur beralaskan bumi, beratapkan langit.

“Milo hangat mas, kopi hangat. Yang hangat-hangat.” Suara seorang ibu terdengar di telingaku. Kami mengalihkan pandangan ke arahnya.

Seorang wanita berumur sekitar 35-an tahun berdiri di hadapan kami. Dia membawa termos, minuman instan dan gelas-gelas plastik. Dengan gigih dia menawarkan jualan minumannya. Walau kami telah berusaha menolaknya.

Mendadak aku merasa kasihan kepada wanita itu. Bayangkan, seorang wanita di tengah malam berada di pelabuhan untuk mencari rezeki. Kerasnya kehidupan bagi banyak orang tidak membuat mereka menyerah. Malah mereka semakin berusaha keras untuk berjuang dan tak menyerah.

Aku merotasikan pandanganku. Tingkah manusia bercerita tentang makna hidup kepadaku. Begitu banyak manusia berada di pelabuhan ini. Mereka semua mempunyai penderitaan hidupnya masing-masing. Namun aku bisa melihat, bagi sebagian orang penderitaan kehidupan bukanlah masalah, namun masalahnya adalah bagaimana kita memutuskan untuk menghadapinya.

Sebagian orang memilih untuk berbuat menyerah, dan sebagian lagi memilih untuk berjuang.

Dan mereka yang memilih untuk berjuang, salah satunya adalah wanita di hadapanku.

“Pesan satu mbak. Milo hangat.” Kataku. Teman-teman yang lain ikut memesan.

Wanita itu dengan cekatan menyajikan pesananku. Tanpa senyum, namun ekspresinya bercerita tentang banyak hal. Dalam hatiku aku merasa damai. Walau malam ini kami mengalami masalah, namun selalu ada hikmah yang dapat kami petik tentang kehidupan. Karena memang dunia tak selebar daun kelor, dan masalah dalam hidup pun tak selalu sebesar seperti apa yang kita bayangkan. Pandanglah jauh, maka kita dapat mengerti banyak orang yang mengalami masalah yang lebih besar dalam hidup kita.