Senin, 17 Oktober 2011

Bantulah Saudaramu dengan Tidak bertanya


Orang Indonesia memang mempunyai karakter dan kelebihan yang unik. Karena rasa sayang yang tinggi kepada saudaranya, mereka sering menanyakan hal-hal yang sangat privasi. Pertanyaan-pertanyaan tersebut kadang diulang-ulang sampai yang ditanyakan menjadi jenuh.
Pertanyaan tersebut misalnya :
                “Kok kamu gak lulus kuliah, kamu kan pintar?”
                “Kapan kerja?”
                “Kapan punya anak?”
                “Kapan naik haji kayak aku?”
                “Kapan nih kamu beli rumah? Aku bisa kamu juga bisa.”
                Dan pertanyaan lainnya.
                Terkadang saya berpikir, mungkin ada di antara kita yang suka menanyakan hal seperti itu dengan tujuan mengakrabkan diri. Dengan memasuki area privasi seseorang, kita ingin orang tersebut mengerti bahwa kita peduli dengan kehidupan pribadinya.
                Sayangnya, kebanyakan dari kita tidak memikirkan efek dari pertanyaan tersebut. Apakah dengan bertanya tersebut apakah membawa kebaikan kepada orang yang kita tanya atau tidak, atau mungkin membawa kebaikan kepada diri kita sendiri.
                Kadang-kadang, sebagian orang tidak menjelaskan alasan mengapa mereka tidak melakukan sesuatu, tapi saya rasa sebagian orang punya alasan untuk hal-hal yang tidak dia lakukan. Dan tentu saja dia berhak untuk tidak menjelaskan alasan-alasannya.
                Dalam suatu hadits disebutkan :
Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai Allah daripada seorang mukmin yang lemah dalam segala kebaikan. Peliharalah apa-apa yang menguntungkan kamu dan mohonlah pertolongan Allah, dan jangan lemah semangat (patah hati). Jika ditimpa suatu musibah janganlah berkata, "Oh andaikata aku tadinya melakukan itu tentu berakibat begini dan begitu", tetapi katakanlah, "Ini takdir Allah dan apa yang dikehendaki Allah pasti dikerjakan-Nya." Ketahuilah, sesungguhnya ucapan: "andaikata" dan "jikalau" membuka peluang bagi (masuknya) karya (kerjaan) setan." (HR. Muslim)
                Ada point penting dalam hadits tersebut, yaitu perihal menerima takdir dan perihal larangan berandai-andai.     Beriman kepada takdir Allah merupakan hal yang penting dalam agama, dan kita dilarang untuk berprasangka buruk kepada takdir Allah.
                Terkadang kita menanyakan kepada seorang teman atau keluarga mengenai takdir, tanpa kita mengerti masalah yang dia hadapi. Misalnya saja kita bertanya kepada seseorang yang tidak naik haji, sementara menurut kita dia mampu. Atau kita bertanya kepada seseorang yang tidak lulus kuliah sementara menurut kita dia pintar padahal kita tidak tahu alasannya.
                Mungkin saja alasannya seseorang tersebut tidak naik haji karena dia dia suka membantu keluarganya yang fakir.  Atau mungkin saja alasannya seseorang itu tidak lulus karena dia ada masalah keuangan, atau banyak hal2 yang lainnya yang tidak kita ketahui.
                Mungkin saja bila kita bertanya-tanya kepada seseorang akan membuat dirinya berandai-andai.  Berandai-andai bila dia tidak membantu keluarganya yang fakir mungkin saja dia bisa naik haji. Atau bila dia kaya mungkin saja dia bisa melanjutkan kuliahnya.  Dan itu akan membuka peluang masuknya setan dalam pikirannya, dan akhirnya membawa dia ke jurang dosa dan perasaan tidak bersyukur. Padahal kita sendiri menganggap pertanyaan kita adalah pertanyaan yang sepele dan tidak berakibat apa-apa.
                Kalau sudah begitu, masihkah kita tidak berhati-hati bila hendak menanyakan sesuatu kepada saudara kita?
                Bantulah Saudara kita dengan tidak bertanya hal yang membuatnya tidak bersyukur dan jatuh dalam jurang dosa.
                Wallahu a’lam.
Orang Indonesia memang mempunyai karakter dan kelebihan yang unik. Karena rasa sayang yang tinggi kepada saudaranya, mereka sering menanyakan hal-hal yang sangat privasi. Pertanyaan-pertanyaan tersebut kadang diulang-ulang sampai yang ditanyakan menjadi jenuh.
Pertanyaan tersebut misalnya :
                “Kok kamu gak lulus kuliah, kamu kan pintar?”
                “Kapan kerja?”
                “Kapan punya anak?”
                “Kapan naik haji kayak aku?”
                “Kapan nih kamu beli rumah? Aku bisa kamu juga bisa.”
                Dan pertanyaan lainnya.
                Terkadang saya berpikir, mungkin ada di antara kita yang suka menanyakan hal seperti itu dengan tujuan mengakrabkan diri. Dengan memasuki area privasi seseorang, kita ingin orang tersebut mengerti bahwa kita peduli dengan kehidupan pribadinya.
                Sayangnya, kebanyakan dari kita tidak memikirkan efek dari pertanyaan tersebut. Apakah dengan bertanya tersebut apakah membawa kebaikan kepada orang yang kita tanya atau tidak, atau mungkin membawa kebaikan kepada diri kita sendiri.
                Kadang-kadang, sebagian orang tidak menjelaskan alasan mengapa mereka tidak melakukan sesuatu, tapi saya rasa sebagian orang punya alasan untuk hal-hal yang tidak dia lakukan. Dan tentu saja dia berhak untuk tidak menjelaskan alasan-alasannya.
                Dalam suatu hadits disebutkan :
Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai Allah daripada seorang mukmin yang lemah dalam segala kebaikan. Peliharalah apa-apa yang menguntungkan kamu dan mohonlah pertolongan Allah, dan jangan lemah semangat (patah hati). Jika ditimpa suatu musibah janganlah berkata, "Oh andaikata aku tadinya melakukan itu tentu berakibat begini dan begitu", tetapi katakanlah, "Ini takdir Allah dan apa yang dikehendaki Allah pasti dikerjakan-Nya." Ketahuilah, sesungguhnya ucapan: "andaikata" dan "jikalau" membuka peluang bagi (masuknya) karya (kerjaan) setan." (HR. Muslim)
                Ada point penting dalam hadits tersebut, yaitu perihal menerima takdir dan perihal larangan berandai-andai.     Beriman kepada takdir Allah merupakan hal yang penting dalam agama, dan kita dilarang untuk berprasangka buruk kepada takdir Allah.
                Terkadang kita menanyakan kepada seorang teman atau keluarga mengenai takdir, tanpa kita mengerti masalah yang dia hadapi. Misalnya saja kita bertanya kepada seseorang yang tidak naik haji, sementara menurut kita dia mampu. Atau kita bertanya kepada seseorang yang tidak lulus kuliah sementara menurut kita dia pintar padahal kita tidak tahu alasannya.
                Mungkin saja alasannya seseorang tersebut tidak naik haji karena dia dia suka membantu keluarganya yang fakir.  Atau mungkin saja alasannya seseorang itu tidak lulus karena dia ada masalah keuangan, atau banyak hal2 yang lainnya yang tidak kita ketahui.
                Mungkin saja bila kita bertanya-tanya kepada seseorang akan membuat dirinya berandai-andai.  Berandai-andai bila dia tidak membantu keluarganya yang fakir mungkin saja dia bisa naik haji. Atau bila dia kaya mungkin saja dia bisa melanjutkan kuliahnya.  Dan itu akan membuka peluang masuknya setan dalam pikirannya, dan akhirnya membawa dia ke jurang dosa dan perasaan tidak bersyukur. Padahal kita sendiri menganggap pertanyaan kita adalah pertanyaan yang sepele dan tidak berakibat apa-apa.
                Kalau sudah begitu, masihkah kita tidak berhati-hati bila hendak menanyakan sesuatu kepada saudara kita?
                Bantulah Saudara kita dengan tidak bertanya hal yang membuatnya tidak bersyukur dan jatuh dalam jurang dosa.
                Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar: