Selasa, 05 April 2011

Renungan Nasi Kuning

Tiada makanan yang lebih baik daripada hasil usaha tangan sendiri.
 (HR. Bukhari)

                Ibuku adalah wanita yang ulet dan pekerja keras. Beliau adalah seorang guru Sekolah Dasar di sekolah di mana saya juga pernah bersekolah. Menjadi guru adalah cita-cita beliau sendiri, karena memang keluargaku adalah keluarga guru. Kakekku adalah seorang guru yang terkenal berwibawa pada waktu beliau masih mengajar dulu. Seingatku ibu pernah bercerita, bagaimana ketika kakek dengan baju yang disetrika rapi dengan kanji memasuki sekolah, maka tak akan ada murid-murid yang berani berbuat macam-macam. Murid-murid akan diam tak bersuara seakan-akan berhadapan dengan macan. Karena memang pada jaman kakek, guru adalah figur yang sangat dihormati.
                Hal itu pun menurun pada jiwa ibuku. Ibuku selalu tegas bila mengajar, bahkan pada anak-anaknya sendiri. Pernah dia memarahi kakak sulungku, karena datang terlambat, di hadapan murid-muridnya. Pada waktu itu kakak sulungku memang menjadi murid di kelasnya. Walhasil, kejadian itu menjadi momen yang tak terlupakan bagi kakakku, sehingga di waktu-waktu tertentu, terkadang dia menceritakan momen bersejarahnya itu kepada kami semua. Ibuku hanya terdiam mendengar cerita kakakku.
Menurutku, ibuku juga punya keinginan kuat untuk selalu berjuang dalam hidup. Sebagai contoh, pernah di waktu saya masih sekolah dasar Ibu membuat kue dan es manis untuk dijual sekadar menambah penghasilan keluarga. Walaupun hasilnya tidak seberapa, tapi mungkin ibu ingin mengajarkan arti ketekunan dan kerja keras kepada kami semua. Karena hidup memang harus dijalani dengan ketekunan dan kerja keras.  Dulu sewaktu saya kecil, saya telah terbiasa membantu ibu berdagang.  Mengantar es, mengantar kue ke sekolah pada pagi hari, lalu pada sorenya saya kembali mengambilnya ke tempat yang sama. Itu dulu sewaktu saya masih kecil.
                “Nak Benua biru. Bawa kue ini ke toko .” Perintah ibuku kepadaku waktu itu.
                “Baik bu.” Jawabku.
Dengan sepeda kecil yang kumiliki saya membawa kue-kue itu ke toko. Kukayuh dengan semangat, agar cepat sampai. Setelah sampai di toko tetangga, saya lalu meletakkan kue tersebut di rak dagangan, dan meminta izin untuk pulang. Pada malam harinya saya kembali lagi dan berharap kue-kue tersebut sudah habis semua. Bila kue-kuenya habis, terasa senanglah hatiku. Pak Suwadi akan memberikan saya uang kue hasil penjualan, tentu saja setelah memotong komisi untuknya.
Bukan hanya kue yang saya bawa, terkadang saya juga membawa es manis yang dibuat ibuku untuk diantarkan ke warung-warung yang ada di sekeliling kompleksku. Rutin aku dan saudara-saudaraku bergantian membawanya. Selain ke warung-warung dekat rumahku, ibu juga membuat kue untuk dijual di sekolah dasar tempatnya mengajar dan saya bersekolah. Sekolah dan rumahku tidak berjarak jauh. Saya bisa berjalan kaki dari rumahku ke sekolah.
Ada suatu kejadian ketika sepulang sekolah, kue-kue yang dibuat ibuku tidak habis. Sudah menjadi kebiasaan, bila bukan ibuku yang mengambil keranjang kue di warung sekolah, maka akulah yang akan mengambil keranjang kue tersebut. Namun ada yang berbeda hari ini. Ternyata teman-teman sekolahku sudah menungguku di dekat pintu gerbang ketika melihatku membawa tempat kue tersebut. Mereka bergerombol seperti orang yang sedang menunggu mangsa. Saya mulai berpikir ada yang salah. Mereka jumlahnya banyak, tentu saja bila mereka berniat jahat kepadaku, aku akan kalah.
                “Hai Benuabiru.” Seru mereka sambil tersenyum-senyum aneh.
                Biasanya kalau mereka sudah tersenyum, tentu ada sesuatu yang hendak mereka inginkan. Senyum itu terasa lebih aneh, karena pesan-pesan mereka seperti memancarkan sinyal khusus yang setaraf dengan kode morse. Harus diterjemahkan dulu oleh para ahli psikologi anak baru dapat dimengerti maknanya yang paling dalam.
                “Ada apa teman-teman?” Tanyaku
                “Boleh gak kami minta kue-kue yang tesisa?” Tanya mereka malu-malu melalui lisan Ferdy ketua geng mereka.
                Saya teringat pesan ibuku. Kalau memang ada kue yang tersisa dan seumpamanya teman-teman kamu memintanya, aku diperbolehkan oleh ibuku untuk membagikannya secara gratis.
                “Iya, boleh saja.” Sahutku sambil tersenyum.
                Tanpa dikomando, berhamburanlah mereka merebut kue-kue yang masih ada di keranjang kue yang saya bawa. Jumlah kue hanya sedikit, sedangkan mereka berjumlah banyak. Tentu saja terjadi perebutan kekuasaan untuk mendapatkan makanan.  Siapa yang kuat dia yang dapat, sedang yang lemah hanya akan mendapatkan remah-remah sisa si kuat. Sekali lagi terbukti keinginan untuk bertahan hidup salah satunya dengan perebutan makanan adalah tahap pertama dari hierarchy of needs.
                Di saat perebutan makanan itu terjadi, dan di tengah kebahagiaan mereka, datanglah seseorang dengan wibawa yang tinggi menghampiri mereka. Ternyata dia adalah Pak Amir, salah satu guru yang terkenal berwibawa di sekolah kami. Dia mendehem keras ke arah murid-murid kelas empat temanku.
                “Hai, sedang apa kalian?” Teriaknya kepada teman-temanku. Sebagian mereka menunduk memandang tanah, walau ada juga dari mereka yang masih ketawa cekikikan menahan geli mengingat perebutan makanan tadi.
                “Kalau mau makan kue, harus bayar.” Pak Amir marah bukan kepalang. Ditatapnya murid-murid itu dengan tajam. Entahlah, mungkin beliau merasa kasihan denganku. Mungkin pula beliau menyangka bahwa teman-temanku memaksa aku untuk memberikan sisa kue kepada mereka.
                Tentu saja menghadapi tatapan mata seperti itu, teman-temanku sekelasku yang tadinya berebut makanan menjadi keder. Mereka pun mengeluarkan uang dari kantongnya sambil memberi aku kode yang aku tahu maksudnya. Aku pun membalas kode mereka. Pak Amir pun tersenyum mengetahui instruksinya telah dilaksanakan dengan baik akhirnya pergi berlalu. Beliau tak menyadari permainan kode antara saya dan teman-temanku.
                Dan memang benar. Setelah Pak Amir pergi, teman-temanku itu meminta kembali uang mereka. Dengan senyum yang aneh, mereka menatapku lagi penuh makna. Tentu saja saya paham maksud di balik semua tingkah laku mereka. Saya hanya bisa tersenyum melihat tingkah mereka yang lucu. Uang yang semula berada di kantongku, akhirnya harus berpindah tangan lagi ke mereka. Demikian pula isi keranjang kueku. Bawaanku yang semula agak berat menjadi ringan karena memang sudah tidak ada lagi isinya dinikmati oleh mereka.
                Dan banyak lagi kenangan mengharukan dalam hidupku. Misalnya ketika suatu saat aku mengantar es manis ke sebuah warung dengan sepeda kecilku. Karena terlalu bersemangat, aku pun mengayuh sepedaku dengan sangat kencangnya. Brakk! Semua isi es dari termos yang kubawa jatuh ke tanah. Dan es-es yang dibuat ibuku dengan susah payah akhirnya menjadi kotor. Dengan hati yang hancur, aku membawa es-es itu ke rumah, membersihkan dan memisahkan bagian yang masih bisa diselamatkan, dan mana yang harus dibuang. Aku merasa sangat bersalah, karena es-es itu dibuat dengan susah payah oleh ibuku. Tapi ibuku memang seorang ibu yang mulia. Aku merasa sangat bersyukur, ketika mengetahui ibuku tidak marah sedikit pun kepadaku.

۩

                Beberapa minggu yang lalu saya pulang kembali ke kampung halamanku. Terasa lelah karena menempuh perjalanan kurang lebih dua belas jam untuk kembali ke homebase. Ada perasaan sedih setiap saya pulang, karena homebase-ku begitu jauh dari tempat saya bekerja. Ketika saat pulang tiba, terkadang hanya rasa lelah yang menghinggapi badan ini.
                Dan pagi itu, ibuku tanpa sadar telah mengajarkan saya filosofi itu.
                Mungkin, berdagang merupakan hobi yang tidak disadari oleh ibuku. Ketika saya pulang ibu sudah memberikan tugas baru bagiku.
                “Nak, nanti antar adek kamu ke pasar, buat nyari bahan-bahan nasi kuning dan agar-agar.”
                Ibu sudah bertekad menjual nasi kuning di sekolah sebagai tambahan penghasilan buat adek yang masih kuliah. “Untuk belin bensin motor adekmu”, kata beliau.
                Maka kepulanganku ke rumah sebagian kuisi dengan membantu ibu membuat nasi kuning.
                Membuat nasi kuning, menurut ibu haruslah sebaik mungkin. Ibu berkata seperti ini padaku:
                “Nak, kalau memasak nasi kuning itu jangan setengah-setengah. Harus sampai enak. Kadang ada orang yang memasak, nasi kuning tapi rasanya hambar. Ibu tidak mau seperti itu.” Sahut Ibu ketika saya membantunya membungkus nasi kuning.
                “Mencari uang itu harus bersusah-susah nak.” Sahut ibuku lagi.
                Saya terhenyak mendengar kata-kata beliau. Saya teringat kenangan di masa kecilku ketika saya membantu ibuku berjualan es, kini saat itu terulang kembali. Ibu harus berjuang kembali mencari rezeki sebagai bentuk ikhtiar beliau. Walau beliau telah mempunyai gaji dan kiriman dari anak-anaknya, tapi beliau tiada berhenti berusaha.
                Ibu seperti berpesan kepada saya, bahwa hidup itu seperti berjualan nasi kuning. Ketika kita memasaknya dengan setengah-setengah, maka orang lain tak akan menyukainya, dan dagangan itu pun tidak laku. Seperti itulah hidup. Ketika kita hanya mengolah diri kita setengah-setengah dan main-main, maka hasil kita akan terasa hambar. Dan memang berusaha itu tidaklah mudah dan memerlukan perjuangan.  Ibu bahkan tidak memperlihatkan rasa lelahnya dalam bekerja, setelah semalam begadang membuat nasi kuning itu. Mungkin itu karena ibu mencintai pekerjaan ini.
                Saya merenung dalam-dalam. Betapa selama ini dalam hidupku saya telah berjuang dengan keras untuk melewati segala rintangan. Betapa banyak masalah yang aku lewati, dan setiap masalah yang datang selalu membuatku belajar untuk terus bertahan hidup dan tidak menyerah. Di kala masalah yang baru tiba saat ini, tiada bijak saya menyerah kalah, padahal saya yakin dengan izin Allah insya Allah, saya akan bisa bertahan dan berusaha lagi menggapai kehidupan yang lebih baik.
Ah, ibu. Setiap saya mengingat kerja kerasmu, saya merasa semakin kagum kepadamu. Saya jadi malu mengeluh kepadamu tentang hidupku di perantauan. Terima kasih ibu atas sebuah pelajaran berharga tentang makna berusaha dalam kehidupan. Saya akan selalu berjuang menjadi lebih baik. Karena hidup memang harus diisi dengan perjuangan.
(NB: Nama2 di atas adalah fiktif belaka, tapi berdasarkan kisah pribadi)^_^V
                                                                                                                               

Tidak ada komentar: