Senin, 19 Januari 2015

Memeluk Rindu di Danau Tanralili

Catatan Perjalanan 16-18 Jan 2015




(bagian pertama)

Dingin pagi menjemput sedikit rasa malas dari tubuh untuk bergerak. Langit menunjukkan subuh mulai berjalan perlahan menuju pagi. Sedikit saja kita bisa kehilangan waktu berharga yang sebenarnya. Subuh mendekap rindu ke hadirat Sang Maha Pencipta.

Sabtu subuh di Desa Lengkese. Aku membuka pintu tenda, dan hatiku tersenyum. Telah lama aku mengistirahatkan kaki berjalan. Bersama sahabat sahabat kembali aku berjalan. Syukurlah. Hidup terasa menyenangkan bersama sahabat yang menawarkan senyum untuk kita.

Padahal kemarin siang beberapa dari kami belum terlalu yakin untuk melakukan perjalanan karena pengaruh cuaca. Danau Tanralili yang kami tuju, melewati daerah longsoran yang cukup rawan. Anwar sedikit realistis, sedangkan Roy, bertekad baja. Dia bertekad untuk ke Danau Tanralili.walaupun apapun halangannya.

"Kalau sampai hujan tidak berhenti mengguyur kota Makassar, maka mungkin saya tak ikut." Begitu kira kira pesan Anwar pada siang sebelum rencana keberangkatan kami ke Desa Lengkese untuk selanjutkan melanjutkan perjalan ke Danau Tanralili.

Alhamdulillah, malam keberangkatan langit kembali bersahabat dengan kami.

Pada akhirnya jumlah kami tetap rencana semula, delapan orang. Saya, Asri, Wicu, Roy, Rudi, Isnan, Anwar Nopiar dan Nuzul. Alhamdulillah lagi, Nuzul dengan kebaikannya menyediakan mobil untuk keberangkatan kami.

Kami memulai perjalanan dari tempat Roy bekerja, di jalan Jenderal Sudirman sekitar pukul 8.30 malam. Melewati jalan Sultan Alauddin, tiba tiba perut Roy terasa lapar.

"Kita singgahlah nanti makan dulu pas jemput Asri." Kata Roy.

Kampung tengah memang harus dimakmurkan sebelum ke sana. Beberapa teman singgah makan di warung tenda di jalan Alauddin depan kompleks Asri.

Setelah puas memakmurkan kampung tengah, perjalanan kami lanjutkan. Melewati jalan poros Makassar Malino kami, kami belok kanan di kecamatan Parigi. Melewati gelap malam di Majannang, terdapat sebuah patung di pertigaan. Arah kanan ke arah Malakaji, arah kiri lurus ke atas menuju desa Lengkese tujuan kami.

Kami tiba di Gedung Pengamatan Bawakaraeng sekitar pukul 12.30 malam. Karena tak ada tempat untuk menginap kami pun mendirikan tenda.

***
"Kita berjalan yuk mencari minuman hangat. Mungkin saja ada yang jualan." Ajak Nuzul pagi seusai mentari perlahan menggeliat malu bangkit dari peraduannya.

"Ayo." Aku dan Wicu mengiyakan.

Kami berjalan menapaki jalan Desa Lengkese. Beberapa "ranjau" yang masih hangat menggoda kami untuk berjalan dengan hati hati. Menginjak "ranjau" berarti harus mencuci kaki. Walaupun air berlimpah, namun jejak rasa ranjaunya akan terkenang walaupun tapak kami telah bersih.

"Singgahki." Seorang bapak menyapa kami dengan ramah. Rumahnya terletak paling ujung dari setapak yang kami lewati.

"Iyek." Jawab kami sopan

Bapak ramah itu terus mengajak kami untuk naik ke rumahnya. Tapi entah mengapa kami menolaknya. Mungkin rasa risih karena di kota kita sudah sedikit jarang mendapatkan keramahan seperti ini.

"Kapanki datang?" Tanya bapak itu.

"Sekitar jam dua belas kemarin pak."

"Kenapa ndak bermalamki di sini?" Tanya bapak itu ramah.

"Ndak enak mengganggu pak. Kami menginap di gedung pemantauan longsor."

"Ndak papa. Di sini biar jam dua kalian mengetuk tidak papa." Jawab istrinya yang juga tak kalah ramah.

Keramahan bapak dan ibu itu nampaknya tak dibuat buat. Khas penduduk desa yang masih senang menawarkan keramahan kepada siapa saja. Sebuah tawaran yang menarik, mungkin kelak bila berkunjung lagi ke sini, kami akan singgah ke rumahnya.

Kami pamit setelah berbasa basi menanyakan spanduk kecil bertuliskan "Basecamp Persia" depan pintunya. Tulisan itu mengingatkan kami pada seorang sahabat yang kami kenal. Dia pernah menapakkan kakinya di tempat ini.

Kami pun kembali ke tempat kami menginap semalam Gedung Pengamatan Bawakaraeng- Pompengan Jeneberang. Syukurlah, semua teman telah bangun. Kami melakukan aktivitas pagi sebelum berangkat. Memenuhi panggilan alam misalnya. Hal yang cukup penting tentunya. Dan juga mengisi kampung tengah dengan minuman hangat dan snack.

Sebelum berangkat kami memutuskan untuk silaturrahim ke rumah Daeng Tawang, Imam Desa. Etikanya kita harus bersilaturrahim dengan tetua kampung.

Aku, Nopi, Roy berjalan menuju rumah Daeng Tawang. Karena bingung kami bertanya ke penduduk yang kami temui. Katanya rumahnya terletak di sebelah mesjid. Berjalan menurun melewati jalan beton, kami melihat sebuah mesjid. Tidak lama kemudian kami melihat rumah Daeng Tawang.

Kami menjelaskan maksud kedatangan kami kepadanya. Beliau menyambut kami dengan ramah. Bahkan beliau menawarkan songkolo, penganan khas lokal. Tapi kami telah sarapan pagi hingga kami menolaknya.

Di tempat Daeng Tawang kami bertemu dengan tim pendaki lain yang hendak ke Danau Tanralili juga. Jumlahnya lebih dari sepuluh orang. Nampaknya bukan hanya kami yang berniat ke Danau Tanralili.

"Catat dulu nama-namata." Kata Daeng Tawang.

Kami mengutus Anwar untuk masuk karena hanya dia yang memakai sandal hingga mudah dilepas.

Setelah mencatat nama nama kami di buku tamu, kami pamit kepada beliau.

Sesampainya di Gedung Pemantauan, teman teman telah bersiap untuk berangkat. Isnan, pemuda tangguh memanggul carrier berisi ransum kami. Sayangnya dia lupa membawa mantel hujan. Sedikit khawatir bila hujan tiba.

“Pokoknya kamu penting dilindungi Isnan. Karena kamu yang bawa ransum.” Kata Asri.

Sebelum Berangkat kami berfoto dulu. Setelahnya kami berkumpul memasrahkan diri ke Sang Maha Pencipta dalam lantunan doa. Berharap Allah melindungi kami dalam perjalanan.

Kaki pun mulai melangkah. Kami sempat melihat air terjun kembar di bukit yang berhadapan dengan tempat kami menginap. Sayangnya waktu terbatas hingga kami tak bisa ke sana. Memandang langit, semoga tak turun hujan. Perjalanan ke Danau Tanralili adalah perjalanan melewati daerah longsoran yang cukup terjal. Bila hujan turun maka kami harus berhati-hati.

(Bersambung)

Tidak ada komentar: