Senin, 19 Januari 2015

Tersesat ke Bendungan Bissua



 Siang itu, Minggu, 28 Desember 2014, ibu baru saja pulang dari membagi rapor di sekolahnya. Ibu seorang guru sekolah dasar dekat rumah, sekolahnya berjarak sekitar dua ratus meter dari rumah. Ibu membawa kresek hitam berisi "sesuatu".

Rupanya sekolah ibu habis 'makan-makan' sebagai acara rutin yang menyelip pas pembagian rapor. Ibu mendapat hadiah ember kecil berisi beberapa ayam KFC.
Tak disangka tak diduga, ketika jalan pagi melewati KFC dekat rumah kemarin, saya merencanakan makan ayam resep bule ini. Rezeki memang tak ke mana, akhirnya bisa juga makan gratis.

Aku melirik jam dinding. Masih sempat gak ya ikut trip ke bendungan Bissua? Seorang teman mengajak ke sana. Sambil makan aku berpikir ikut atau tidak. Sudah enam bulan sepertinya aku jarang 'piknik'. Alasannya karena satu dan lain hal yang sulit dijabarkan dengan kata-kata. Ciye ciye. Lebay mode : on

Akhirnya aku memutuskan ikut. Penasaran dengan bendungan Bissua. Kalau menurut internet, tempat tersebut adalah salah satu tempat wisata di Takalar. Menurut cerita di sebuah blog, jarak tempuhnya hanya sekitar 40 menit dari makassar. Kupikir jaraknya tidak begitu jauh. 15 menit lagi jam setengah dua, jadwal keberangkatan.

Brumm. Aku memacu motorku ke sebuah hotel. Di depan hotel hotel teman teman trip sudah berkumpul. Kami ada berempat. Ada hendri, ina dan (kalau tak salah namanya) suci. Ina dan suci berboncengan, aku dan hendri bawa motor sendiri sendiri.

Karena masih bingung lokasinya di mana, maka aku memacu motorku paling belakang. Kami beriringan memacu motor melewati jalan Alauddin, terus berputar ke UIN Samata, menuju ke arah jalan Malino

Senang rasanya melewati sawah sawah lagi. Pemandangan hijau seolah olah berbisik kepadaku untuk bersahabat dengannya. Sepertinya aku terlalu lama mengurung diri dalam rutinitas dan masalah yang tak kunjung berhenti.

Asyik memacu motor, aku merasa ada yang janggal. Ina dan temannya tak kelihatan. Hendri terus memacu motornya, aku mengira dia tahu jalan menuju bendungan itu.

Aku memintanya berhenti. Ketika berhenti, aku bertanya.

"Kamu tahu jalan menuju bendungan itu?" Tanyaku.

"Tidak." Ternyata kami sama sama tak tahu.

Kami putuskan menunggu Ina dan temannya. Ternyata setengah jam menunggu Ina dan temannya tak muncul muncul juga.

Kami berdua mulai khawatir. Kami berdua juga tak punya nomor teleponnya. Semakin lama menunggu kami semakin khawatir. Satu satunya jalan menghubunginya melalui line.

"Kamu di mana?" Tanyaku melalui line.

Lama tak ada balasan. Hendri memutuskan menyusuri arah kedatangan kami. Dia menyuruhku tetap tinggal. Lebih setengah jam kemudian dia muncul, Ina belum muncul juga.

Aku membuka line, barangkali ada pesan dari dia. Syukurlah, mereka ternyata menempuh jalan yang berbeda dengan kami. Mereka tersesat kami pun tersesat.

Kami berdua menyusuri jalan poros gowa- malino, bertanya ke sana ke mari. Ada dua pilihan, jalan bagus tapi jauh, jalan pintas namun jelek dan berbecek.

Karena ingin cepat sampai, akhirnya kami memilih jalan pintas yang berbecek. Ketika perjalanan baru memasuki beberapa ratus meter, aku merasa bahwa jalur ini sedikit menggalaukan. Selain jalannya becek, jaraknya tak 'sepintas' yang kubayangkan.

Deru motor yamaha vegaku seolah tak mampu melewati jalan becek yang ada di hadapanku. Berkali kali hampir terjatuh, namun aku berusaha menjaga keseimbangan. Ada perasaan khawatir, memandang ke langit dengan awan yang terlihat pekat.

Aku berpikir untuk menghentikan perjalanan. Bagaimana bila hujan deras tiba dan kami terjebak di sini? Bisakah kami pulang

Aku mengklakson Hendri. Dia berhenti.

"Apa sebaiknya kita tak bertanya dulu? Apa benar ada jalan lainnya yang bagus? Kalau kita harus pulang melewati jalan ini, kemungkinan kita harus menginap." Syndrom logis (baca : cemasku) memuncak. Sejenak ada setitik sesal mengapa aku melanjutkan perjalanan melalui tempat ini.

"Assalamu alaykum." kami memberi salam. Kami bertanya kepada penghuni rumah satu satunya di jalan ini.

Seorang wanita berumur kira kira 35-40 tahun bangun dari tiduran di teras rumah panggung. Rumah panggung merupakan rumah adat bugis makassar, ciri khasnya ada teras ruang bertamu ketika kita menaiki tangga.

"Bu, apa benar jalan ini menuju bendungan Bissua?" Tanyaku.

Ibu itu mengiyakan. Dengan cepat aku bertanya tentang jalan bagus yang diceritakan penduduk di jalan poros Malino.

"Ada jalan bagus bu untuk pulang selain jalan ini?"

Ibu itu kembali mengiyakan. Upps, aku merasa sangat senang. Sepertinya kami bisa melanjutkan perjalanan ini.

Melewati jalan becek tak terlalu menggalaukan aku lagi. Yang penting ada jalan yang bagus.

Sekitar lima belas menit kami memacu motor, syukurlah kami sampai juga. Di depan bendungan kami melihat Ina dan temannya telah lebih dulu sampai. Kami sampai sekitar jam empat.

Aku melirik motornya. Kemudian menatap motorku yang mandi lumpur. Ternyata perjuangan mereka untuk sampai ke bendungan ini tak seberat kami.

Bendungan Bissua cukup menarik bagiku yang jarang melihat bendungan. Sayangnya airnya berwarna kecokelatan. Mungkin karena musim hujan. Asyik menikmati bendungan, Ina berkata sesuatu.

"Oia, Herman mau ke sini, katanya dia tahu jalan menuju bendungan kampili."
Bendungan kampili? Apakah perjalanannya akan seberat perjalananku tadi? Apakah aku akan melanjutkan perjalanan ke sana?

Tidak ada komentar: