Selasa, 20 Januari 2015

Memeluk Rindu di Danau Tanralili



 (bagian ketiga)
                Alam yang indah dan mempesona ini membuatku rindu. Ingin rasanya kuambil pena dan menulis puisi-puisi tentangnya. Di antara langkah langkah yang mulai terasa berat, ada keindahan yang sulit dilukiskan dengan kata-kata.

Iya, memang waktu berjalan lambat ketika kaki berjalan menuju Danau Tanralili. Semenit berlalu seperti bermenit menit. Danau yang dituju tak juga kunjung terlihat, membuatku harus mengumpulkan jiwa lagi untuk terus berjalan. Rasa haus bercampur letih.

                Kuteguk air, membasahi kerongkonganku yang mengering.

                Segar

Kaki yang lelah, namun kami harus terus melangkah. Carrier semakin lama semakin terasa berat, bumi menarik-nariknya dengan gravitasinya, membuat bahuku meringis. Kuperbaiki posisi carrierku, aku mulai berjalan lagi.

Walaupun demikian, tetap ada nikmat ….

Lihatlah kawan langit biru yang tersenyum. Hangat mentari tak bosan menyelimuti kulit. Rerumputan tertawa di antara jejak-jejak kami, dan aliran sungai bersenandung menyambut para petualang. Petualang tak boleh mengkhianati takdirnya, jejak mereka terekam melalui perjalanan, bukan bermalas-malasan. Panggullah ranselmu, dan teruslah berjalan kawan….

Kami beberapa kali beristirahat dan mengambil foto. Pemandangan alam yang indah dan menyejukkan, menggoda kami untuk mencahayakannya dalam sebuah kamera. Roy dan Isnan tertinggal di belakang, nampaknya mereka asyik dalam cerita di foto-foto mereka. Aku,Wicu, Nuzul dan Anwar berjalan hampir beriringan. Rudy entah ke mana. Mungkin dia asyik dengan cerita perjalanannya sendiri.

“Tinggal berapa lama lagi Asri?” Tanyaku kepadanya

“Masih harus melewati dua gunung lagi.” Jawabnya.

Kukumpulkan semangat. Danau itu menunggu kita. Di antara bebatuan,kerikil dan rerumputan kita berjalan. Bersama sahabat kita harus terus melangkah.

Langkah-langkah kami semakin jauh dan jauh. Di suatu bukit kecil, aku melihat seorang gadis asyik berfoto. Dia meminta kekasihnya untuk mencahayainya dari berbagai posisi. Dengan berbagai gaya dan pose. Dia duduk di ujung bukit yang terkena longsoran.

Sang kekasih terlihat ikhlas mengambil posenya dari berbagai sudut. Hemmh, sejak dulu begitulah cinta. Deritanya tiada pernah berakhir.

Tak lama kemudian, ketika kami asyik berisitirahat, Rudy lewat.

“Rud, kamu duluan saja, ambil tempat buat tenda kita.” Pinta Asri.

Rudi pun melangkah lagi.

***

                Langkah kami kembali terasa berat. Kali ini kami harus mendaki menuju puncak sebuah bukit yang nampak seperti gunung bagiku.

                “Aaaarg.” Teriak Anwar.

                Anwar terpekik-pekik. Dia mengenggam tahi sapi, ketika berpegangan pada sesuatu. Sebuah kenangan yang mungkin akan sulit dilupakan olehnya.

                Kamu tahu, kadang ada kenangan ketika naik gunung yang sulit dilupakan. Mungkin itulah salah satunya. Rasanya, aromanya, dan perasaan syahdu ketika menggenggamnya.

                Langkah kami semakin gontai, semakin lelah. Di mana Danau itu? Pertanyaan yang hadir dalam jiwaku.

                Namun kaki terus melangkah. Asri melihat aku dan Anwar dari jarak sekitar seratus meter di depan. Kami harus menyusuri longsoran demi longsoran. Perjuangan untuk segera sampai.

                Danau itu mulai terlihat.

                Semangatku mulai terkumpul lagi. Langkah-langkah menjadi lebih ringan.

                Dan danau itu mulai terlihat.

                Danau Tanralili ….



Tidak ada komentar: